Senin, 04 November 2019

MUSIK antara Haram dan Halal : Bagian-1: Pendapat yang mengharamkan



Bagian-1: Pendapat yang mengharamkan

Seni adalah penjelasan rasa indah yang terkandung dalam jiwa setiap manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama). -James Murko

Musik dan lagu adalah bagian dari seni. Seni musik adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi tentang bermacam-macam aliran musik. 

Seni vokal adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan suara tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Diana Hasnah, 2014).

Musik dan jenis-jenisnya, sebagaimana makanan atau minuman, ada orang yang sangat menyukai bunyi alat-alat itu, bahkan hingga menjadikan ia sebagai hobi; tetapi tidak sedikit yang –mungkin- membenci suara-suara “bising” tersebut. Di antara keduanya, terdapat yang agak suka dan tidak begitu senang. Itu baru bicara suka atau benci.

Terhadap musik, ada pula yang benci tapi rindu. Ia dirindu sebab enak didengar, dapat menghibur qalbu, juga mampu memberikan makna tertentu; tetapi dibenci lantaran “tidak sejalan” dengan ajaran agama.

Sebagian orang tidak begitu memedulikan hubungan musik dengan agama. Setelah mendengar azan dia shalat, sehabis zikir ia memainkan organ. Pada satu waktu jari-jemari memetik gitar atau memijat-mihat tuts piano; di saat yang lain ia memegang tasbih atau menunjuk buku-buku jemari membaca wirid.

Idang Rasjidi, pemusik jazz dan penabuh drum terkenal, ketika diwawancarai “Almarhumah” Majalah Ummat dalam konteks salah satu bidang agama –bagi yang suka: tasawuf, berkata, “Aku tak suka tasawuf sebab ia mengharamkan musik!”

Dalam silaturtahmi dalam WAG kampus, beberapa hari lalu, dengan seorang guru besar yang dahulu suka bermain musik; saya sempat kaget. Beliau “agak” berhenti dari musik dikarenakan kehati-hatiannya. 

Profesor khawatir kalau kesenangannya pada alat-alat yang suka dibunyikan sambil bernyanyi atau berjalan sendiri sebagai instrumentalia, itu dalam perjalanannya berlawanan arah dengan ajaran agama. 

Jika itu terjadi, tentu, beliau akan mengutamakan dan memilih apa yang Tuhan suka; dan berusaha –walau tidak ringan di hati, menjauhkan diri dari hal yang sekiranya dibenci oleh yang Mahasuci.

Terbetik dalam hati, “Saya harus nulis, nich!” Akan tetapi, sebab nyaris tiap hari terus-terusan pergi ke sana kemari; niatan itu tertunda berhari-hari. Tadi malam dan ini pagi, saya mulai.

Tentang seni khususnya musik, ada ulama yang mengharamkannya, ada juga yang menghalalkannya. Keduanya mempunyai pegangan, baik Al-Quran maupun dari hadits.

Pendapat yang mengharamkam

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6).
Abdullah bin Mas’ud dan beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata lahwal hadits dalam ayat tersebut adalah nyanyian atau lagu. Sebagian ulama sepakat bahwa nyanyian/lagu yang diiringi alat musik adalah haram hukumnya.

“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjual belikannya, mempelajarinya, atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. (HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih).
“Orang yang bernyanyi, maka Allah Swt. mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Hadits Nabi saw. Dari Abu Amir atau Abu Malik al-Asy’ari, ia berkata:
“Akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minumam keras, dan alat musik.”(HR. Bukhari).

Yang dimaksud “ma’azif” pada ayat di atas adalah semua jenis alat musik. Namun beberapa ulama’ memberikan komentar bahwa hadis tersebut adalah Mu’allaq (terputus) antara Imam Bukhari dengan syaikhnya (Hisyam bin Ammar)

Ini adalah pendapat jumhur ulama’. Alasan keharaman lagu dan musik adalah karena kegiatan tersebut akan menjerumuskan pada keharaman yang lain, misalnya minum-minuman keras. Mereka yang mengharamkan lagu dan musik juga berpedoman pada Syadz-dzara’i* yang melarang perkara mubah karena ditakutkan terjerumus pada hal yang haram. 
*Salah satu qaidah ushul fiqh –yang merupakan wasilah untuk suatu amal baik maupun amal buruk; suatu perbuatan yang bisa mengantrak kepada perbuatan halal atau ke yang haram. Qaidah ushul fiqh adalah tatacara/metoda/rumus/aksioma untuk membantu memahami masalah fikih, seperti halnya phytagoras -dalam Aljabar, Snellius –dalam Fisika Optik, Bernoulli –dalam Fisika Fluida. 
Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar