Senin, 04 November 2019

MUSIK antara Haram dan Halal : Bagian-3 Teks dan Konteks

Bagian Ke-3 Teks dan Konteks

Dalam berusaha memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, pertama kita tentu saja harus melihat teksnya. Kemudian, ke mana konteks ayat tersebut, perlu kita pelajari juga. Ada ayat-ayat yang mudah kita pahami secara tekstual; terdapat juga ayat yang kita mesti mengerti dalam konteks apa ayat tersebut turun.

Kata teks dalam bahasa Arab disebut nash. Di kalangan ulama Ushul Fiqh nash berarti lafal yang hanya bermakna sesuai dengan ungkapannya dan tidak dapat dialihkan pada makna lain.

Nash dalam pengertian teks Al-Qur’an dan Hadits di bagi menjadi nas qath’i dan nash zhanni. Nash qath’i diartikan dengan teks yang jelas dan pasti. Nash ini terbagi dalam dua wilayah yaitu nash qath’i al-wurūd dan nash qath’i al-dalālah. 

Nash qath’i al-wurūd berarti teks yang menunjuk kepada makna tertentu sebagaimana yang dipahami pada teks; tidak ada peluang untuk memahami selain makna yang tertera pada teksnya. 

Sedangkan, nash qath’i al-dalālah adalah ayat Qur‟an atau teks Hadits yang hanya mengandung satu makna yang jelas dan tidak membuka kemungkinan interpretasi lain, tidak perlu penjelasan lebih lanjut.

Sementara nash zanni adalah teks yang relatif atau nisbi sehingga memungkinkan adanya ta’wil yang menghasilkan pengertian lain.

Nash-nash dalam Al-Quran maupun Hadits yang dikategorikan kepada qath’i al-dalālah adalah lafaz dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah, bilangan tertentu, sifat atau nama dan jenis. Misalnya, tentang pembagian warisan, hudūd, kaffārat, dan lain-lain.

Sementara zhanni al dalālah, baik Qur‟an maupun Hadits adalah teks atau lafal yang membuka kemungkinan lebih dari satu makna.

Dari nash zhanni inilah muncul perbedaan pendapat dan paham di antara para ahli Fikih dan selanjutnya menimbulkan mazhab atau submazhab yang berbeda.

Selanjutnya hal konteks. Dalam kajian tafsir kata konteks dikenal dengan istilah siyaq (سِيَاقٌ). Ia tidak hanya terbatas pada sebab turunnya ayat semata. Dalam kajian al-Qur’an, ada banyak bentuk siyaq atau konteks, yaitu: makani (tempat), zamani (masa), maudhu’i (tema), maqashidi (tujuan), tarikhi (sejarah), dan lughawi (hubungan antarlafaz/kalimat). Tentu, kita tidak akan membahasnya di sini.

Kontekstual adalah suatu pendekatan yang tidak hanya melihat keumuman lafadz, tetapi lebih dipengaruhi latar belakang turunnya. Lebih jauh nash/teks harus dipahami sesuai dengan sosio- kultur masyarakat dimana nash/teks itu lahir. 

Karena tidak jarang ditemukan kekeliruan pemahaman sebuah nash/teks bila teks dipahami secara utuh tanpa mengaitkan sosio-kultur yang melatar belakanginya, atau kekeliruan seseorang karena tidak mengetahui apa nash/teks itu sebenarnya. (Hasballah Thaib, Zamakhsyari Bin, 2018).

Salah satu faktor yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur’an secara kontekstual adalah asbabun- nuzul suatu ayat. Namun, tidak semua ayat ada asbabun nuzulnya.

Demikian halnya dalam memahami hadits, tidak jarang pemahaman terhadap suatu nash/teks hadits menjadi lebih berimbang tatkala dipahami apa latar belakang Rasulullah saw. menyampaikan hadits tersebut. Konteks turunya hadits dikenal sebagai asbab wurud.

Sebagai contoh perbedaan pendapat di antara para ulama, bahkan para shahabat, bisa disebutkan di kasus-kasus di bawah ini.

Ketika membaca surat Al-Baqarah ayat 158:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka, barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan, barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui
Perhatikan lafaz فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ

Urwah ibn Zubair memahami ayat secara tekstual, sehingga ia enggal untuk melakukan sa’i.
“..maka tidak ada dosa baginya...” Berarti, sa’i tidak wajib, dong!
Lafaz “Laa Junaaha“dipahami oleh ‘Urwah ibn az Zubair ra. bahwa kalau begitu tidak ada dosa juga bagi orang yang melaksanakan haji kalau tidak melaksanakannya sa’i. Ia sunah saja, bukan wajib.

Aisyah ra, istri Nabi saw dan bibi dari Urwah, menjelaskan ayat ini secara tekstual, yakni asbabun nuzul ayat ini.

Ayat ini turun dengan sebab orang-orang Anshar dulu sebelum masuk Islam bila mereka memulai haji atau umrahnya maka mereka bertalbiah dengan menyebut nama Manat (berhala yang mereka sembah) dan bila sudah begitu maka mereka merasa sungkan untuk melaksanakan sa’ie antara Shafa dan Marwah.

Oleh sebab itu, mereka pun bertanya kepada Rasulullah saw.: Ya Rasulullah kami merasa sungkan untuk sa’i antara Shafa dan Marwah saat kami berada dalam era Jahiliyyah. Kemudian, Allah Swt. menurunkan ayat: { إِنَّ الصفا والمروة مِن شَعَآئِرِ الله }.

Aisyah berkata, “ Demikian pula Rasulullah telah mencontohkan dengan mengerjakan sa’i tersebut, maka tidaklah boleh seseorang meninggalkannya.”

Dalam sebuah hadits diceritakan: Suatu hari, Rasulullah saw. memerintahkan beberapa orang sahabatnya pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Rasulullah saw. berpesan kepada shahabat-shahabatnya agar tidak melaksanakan shalat Ashar, kecuali jika sudah sampai di perkampungan Bani Quraizhah.

Menjelang Maghrib, waktu shalat Ashar sudah mau habis, mereka juga belum sampai di perkampungan itu. Di antara para shahabat ada yang berpegang kepada pesan Nabi tersebut secara teks. Mereka tidak mau shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah, walaupun waktu Ashar telah lewat.

Shahabat lainnya, memahami pesan itu secara konteks. Kelompok ini menagjkap pesan Nabi saw. bahwa harus bergegas berangkat; dan berusaha tiba di tujuan secepat mungkin. Bukan dalam arti jangan shalat Ashar kecuali di perkampungan itu.

Kasus lain dalam masalah ini adalah ketika Umar bin Khattab mengambil kebijakan untuk tidak lagi membagi harta rampasan perang (ghanīmah) seperti yang termaktub dalam QS. Al-Anfal ayat 41 dan 69, kepada para prajurit yang terjun ke medan perang; melainkan memasukkannya ke kas negara. Hal ini membuat marah banyak orang.

Para shahabat di Madinah protes dan menyatakan ketidaksetujuan. Menghadapi kritikan tersebut Umar berargumen secara konteks, tetapi disalah pahami oleh teman-temannya yang lain, karena menggunakan argumen teks.

Umar berpendapat bahwa dahulu di masa Nabi saw., semua yang ikut perang memperoleh bagian sebagaimana diatur secara teks di dalam Al-Qur‟an. Seluruh keperluan saat berperang ditanggung oleh mereka.

Adalah wajar kalau para prajurit memperoleh bagian yang pantas dari harta rampasan perang sebagai imbalan atas jerih payahnya membantu negara.

Tetapi sekarang, kata Umar, seluruh keperluan peperangan disediakan oleh negara dan setiap bulannya para prajurit digaji oleh negara secara rutin. Apakah masih layak para prajurit itu meminta harta dari harta rampasan perang? (Muhammad Shadiq Shabry, Perdebatan Antara Teks dan Konteks dalam AL-FIKR, Volume 15, Nomor 1 Tahun 2011).

Barangkali, melaksanakan tugas negara berupa perang, waktu itu; kalau di-qiyas-kan (walau situasi dan kondisi yang sangat jauh berbeda seperti langit dan bumi) dengan pegawai negeri yang melaksanakan tugas negara ke luar daerah. Yang pertama, segala sesuatunya diurus sendiri; lainnya at cost.

Satu ayat dan dua teks hadits di atas hanyalah contoh sederhana bagiamana kita membaca ayat Al-Quran dan Hadits secara tekstual dan kontekstual. Dan, darinya kita bisa mendapatkan pengertian yang sama sekali tidak sama.

Sekarang kita kembali ke bahasan awal hal haram atau halalnya musik.

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar