Minggu, 11 Mei 2025

Kairo Menulis, Beirut Mencetak, Baghdad Membaca – Lalu Kita ?



Ada kalimat legendaris yang kerap dikutip di dunia literasi Arab:

 القاهرة تكتب، بيروت تطبع، بغداد تقرأ

Kairo menulis, Beirut mencetak, Baghdad membaca.

Sebuah ungkapan yang bukan sekadar urutan aktivitas literasi, melainkan potret peradaban. Tentang bagaimana ilmu ditorehkan, dikembangkan, dan diwariskan. Tentang kota-kota yang pernah menjadi poros dunia dalam membangun pikiran dan menyuburkan pengetahuan.

Kairo, dengan Al-Azhar-nya, menjadi ladang ilmu para ulama. Di sanalah pena-pena mengalirkan hikmah, mencatat sejarah, dan memetakan masa depan. Kata demi kata ditenun dalam kertas, membentuk kitab-kitab yang menjadi suluh peradaban.

Beirut, kota yang tak pernah letih mencetak huruf demi huruf. Ia menjadi jembatan antara ilmu dan khalayak. Meskipun didera perang dan gejolak, Beirut tetap kokoh menjadi pusat percetakan buku Arab: sebuah pelabuhan ide yang menjelma nyata dalam lembaran.

Baghdad, kota seribu malam, yang pernah menjadi gudangnya pembaca ulung. Di sana, buku bukan hanya dibaca, tapi direnungkan. Para pembaca bukan sekadar menelan kata, melainkan memamah makna, menjadikannya cahaya yang menerangi akal dan hati.

Namun, pertanyaannya kini:
Di mana kita berdiri dalam rantai agung itu?
Apakah kita masih menulis seperti Kairo, mencetak seperti Beirut, atau membaca seperti Baghdad? Atau kita sekadar menggulir layar, menelan sekilas tanpa mencerna?

Karena peradaban tidak dibangun oleh mereka yang hanya menonton, tetapi oleh mereka yang terlibat: dalam menulis, mencetak, dan membaca. Dan bila tiga kota itu masih mewakili tiga tiang literasi, maka kita tinggal memilih: akan menjadi batu bata peradaban, atau hanya debu di antara reruntuhannya.

Lalu, dalam satu hari yang kita miliki ini, apa yang sudah kita baca, tulis, atau wariskan?

Allahu a"lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar