by Fahmi Burhan |
Ada yang bilang, bahwa Islam tidak mengatur urusan duniawi. Seperti dalam an-nizam as-siyasi (Sistem Politik) juga dalam nizam al-hukm (Sistem Pemerintahan). Mereka berdalil dengan hadits rasul yang berbunyi,
“Antum a’lamu biumuri dunyakum” (Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian). Karena politik dan pemerintahan adalah urusan dunia, maka agama tidak mengatur hal tersebut.
Sebelumnya, kita harus cek terlebih dahulu, benarkah hadits tersebut berasal dari Rasulullah. Setelah cek dan cek, ternyata derajat hadits tersebut adalah sahih dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya. Adapun lafaz haditsnya adalah sebagai berikut,
Dari Anas Ra dari Aisyah Ra: Bahwasanya Rasulullah SAW melewati kaum yang sedang mengkawinkan (putik dan benang sari pohon kurma). Lalu beliau bersabda, “Jika kalian tidak melakukannya maka tentu tidak apa-apa.
” Lalu pohon kurma tersebut membuahkan kurma yang jelek. Lalu beliau melewati mereka kembali dan bertanya, “Ada apa dengan kurma kalian?” Mereka menjawab, “Engkau mengatakan begini dan begitu.” Lalu beliau bersabda, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
Dalam riwayat lain beliau menjawab, “Sesungguhnya aku hanya manusia biasa. Jika aku memerintahkan kalian dalam perkara agama maka taatilah aku. Namun jika aku memerintahkan kalian dengan pendapatku, maka sesungguhnya aku hanyalah manusia.”
Jadi, apakah hadits ini adalah dalil bahwasanya agama tidak mengatur urusan dunia? Salah kaprah jika ada yang mengira agama tak mengatur urusan dunia. Tak ada dari para ulama yang memahami hadits tersebut sebagai dalil untuk memisahkan agama dari kehidupan.
Dengan kata lain, orang-orang sekuler yang berdalil dengan hadits tersebut telah tertolak dalil mereka sejak awal. Mereka hanya mencari-cari celah agar bisa menyusupkan paham mereka ke benak kaum muslim.
Maksud dari urusan dunia di hadits tersebut adalah urusan-urusan yang tak disinggung oleh syara’ secara umum ataupun khusus. Maksudnya, syara’ tak mengatur bagaimana proses urusan tersebut seperti administrasi dan lain-lain.
Adapun urusan dunia yang jelas-jelas diatur oleh syara’ seperti sistem pemerintahan, maka wajib bagi seorang muslim untuk terikat dengan hukum syara’. Tak bisa ia kabur dari kewajiban tersebut dengan dalil hadits tersebut.
Imam an-Nawawi ketika mensyarah hadits tersebut dalam kitabnya, beliau memasukkan hadits tersebut ke dalam bab,
Bab kewajiban melaksanakan ucapan beliau (Rasulullah) yang berupa syara’, bukan ucapan beliau yang bersangkutan dengan perkara duniawi menurut pendapat beliau (susah nerjemahinnya tolong dibenerin kalau ada yang ga sesuai).
Singkatnya, ucapan Rasulullah ada dua macam.
Pertama,
Ucapan yang berupa tasyri’ atau ucapan yang mengandung hukum syara’ di dalamnya. Kaum muslim wajib mentaati ucapan Rasulullah yang pertama ini, suka atau tidak suka.
Kedua,
Ucapan yang berupa pendapat pribadi beliau. Maka kaum muslim tak diwajibkan untuk mengikuti ucapan beliau yang ini. Salah satu contohnya adalah hadits tentang kurma di atas.
Hukum asal dari ucapan rasul adalah jenis pertama, yaitu tasyri’. Karena Rasul tidak mengucapkan dari hawa nafsu beliau. Maka jika rasul mengucapkan sesuatu, maka hal tersebut bersifat mengikat. Kecuali jika ada indikasi yang menunjukkan bahwa ucapan beliau berasal dari pendapat pribadi beliau.
Kita bisa melihat bahwa para sahabat ketika mendengar ucapan beliau, mereka bergegas melaksanakannya. Mereka tidak bertanya lagi, langsung mereka kerjakan. Baru setelah ada indikasi yang menunjukkan bahwa rasul mengucapkannya menurut pendapat beliau, para sahabat kembali melakukan hal yang biasa mereka lakukan sebelumnya.
Kesimpulannya, hadits tersebut bukan dalil untuk meninggalkan agama dalam urusan duniawi. Karena urusan dunia yang dimaksud di situ tidak secara mutlak, tapi yang tak disinggung oleh syara’. Maka urusan duniawi seperti sistem pemerintahan yang telah diatur oleh syara’, maka wajib bagi seorang muslim mengikuti apa yang Islam perintahkan.[]
(Disarikan dengan beberapa tambahan dari penulis dari diktat kuliah an-Nuzum al-Islamiyyah, mata kuliah semester satu Fakultas Ushuluddin, al-Azhar, Kairo)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar