Imam Shamsi Ali
NEW YORK l duta.co – Salah satu kenikmatan hidup yang Allah siapkan bagi hamba-hambaNya adalah pernikahan. Pernikahan adalah sebuah peristiwa penting dalam hidup manusia. Bahkan tidak mengherankan jika aturan yang paling detail dalam agama ini adalah urusan rumah tangga.
Betapa tidak. Dari awal proses mencari calon pasangan hidup, hingga pernikahan itu sendiri. Dari urusan paling privat (hubungan suami isteri), hingga ke pendidikan anak. Dari bagaimana menumbuh suburkan tali ikatan keluarga, hingga (Semoga tidak terjadi) ketika harus terjadi perceraian. Dari ketika anak lahir, hingga ketika ada yang meninggal dunia dengan urusan warisan. Semuanya diatur secara jelas dan detail oleh agama ini.
Pertanyaaannya kenapa pernikahan menjadi sangat penting dalam hidup ?
Tentu jawabannya banyak. Tapi salah satunya adalah karena hidup secara keseluruhan adalah instiusi. Hidup manusia itu sebuah institusi yang rapih. Semua telah diatur sedemikian rupa oleh Pengatur dan Pemilik kehidupan. Dan bagian pertama yang terbangun dari institusi ini adalah pernikahan itu sendiri.
Kita kenal dalam sejarah bahwa sejak Allah menciptakan manusia (Adam), sejak itu pula manusia itu tidak merasakan ketentraman tanpa pasangannya. Karenanya atas dasar kasih sayangNya jua pasangan baginya (Hawa) diciptakan. Dan sejak itu pula perkawinan atau pernikahan menjadi intitusi solid dalam hidup manusia.
Sejak itu pula institusi ini menjadi sakral (suci) dan menjadi jalan kesucian hidup. Bahkan dalam semua tradisi keagamaan manusia perkawinan atau pernikahan ini dilakukan dengan penuh kesakralan, melibatkan Tuhan di dalamnya.
A Life Journey
Sedemikian pentingnya institusi ini sehingga pernikahan dapat dikatakan sebagai “a life journey” atau proses perjalanan hidup manusia itu sendiri. Sebuah perjalanan yang dimulai dengan komitmen penuh untuk bersama hingga akhir hidup (di syurga Insya Allah).
Untuk life journey atau perjalanan hidup ini solid dan sukses ada beberapa pilar Yang dibangun dalam proses perjalanan itu. Di bawah ini saya sebutkan pilar-pilar tersebut secara singkat.
Pertama A Journey of Responsibility
Bahwa life journey ini adalah A Journey of responsibility atau perjalanan hidup yang penuh dengan tanggung jawabnya.
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa barangsiapa yang diberikan keberkahan dengan seorang isteri yang salehah, tentu sebaliknya seorang suami yang saleh bagi sang isteri, maka dia telah menyemournakan seperdua agamanya (nisf diin).
Perkawinan dianggap memenuhi setengah agama karena agama itu adalah kehidupan. Dan kehidupan adalah tanggung jawab. Tanggung jawab kehidupan itu dalam dua bentuknya; pribadi dan publik. Maka pernikahan sesungguhnya adalah awal dari pemenuhan tanggung publik manusia.
Di sinilah pokok poinnya kenapa pernikahan itu disebut sebagai a journey of responsibility (perjalanan yang penuh tanggung jawab). Bahkan tidak salah jika pernikahan itu akan menjadi “ukuran” tanggung jawab seseorang dalam tanggung jawab publiknya.
Kedua, A Journey of Vision
Bahwa life journey ini adalah a journey of vision atau perjalanan visi hidup.
Keberhasilan membangun rumah tangga akan banyak ditentukan oleh jawaban kepada pertanyaan mendasar dalam hidup manusia. Pertanyaan tentang visi hidup. Untuk apa saya hidup? Dan perkawinan ini adalah bagian penting dari hidup.
Karenanya perkawinan itu akan diwarnai oleh jawaban kepada pertanyaan mendasar tadi. Untuk apa saya menikah ? Menikah karena kecantikan akan mewarnai perjalanan rumah tangga. Kalau masih cantik maka rumah tangga masih solid. Begitu kecantikan berubah, berubah pula keadaan rumah tangga itu.
Demikian seterusnya. Kawin karena materi, popularitas, dan lain-lain yang bersifat duniawi semuanya akan berubah, lambat atau cepat. Dan kalau niat nikah karena semua itu maka nikah itu mengalami perubahan seiring perubahan motifnya.
Maka pada akhirnya, walaupun semua yang disebutkan di atas tiada salahnya menjadi motif, tapi motif yang akan abadi dan tak akan goyah selamanya hanya “ridho Allah” (mardhotillah).
Orang yang menikah karena Allah, apapun warna hidupnya, goncangan apapun yang terjadi dalam hidupnya, pasti akan kokoh dalam melanjutkan langkah life journey ini. Karena pada akhirnya The Ultimate Motive (dorongan utama) dari pernikahannya adalah mencari “ridho Tuhan”.
Ketiga, Proses Perjalanan Saling Belajar (Ta’aruf)
Bahwa life journey ini adalah proses perjalanan saling belajar (ta’aruf).
Kerap kali ada kesalah pahaman di kalangan anak muda umat ini. Seolah ta’aruf itu terjadi sebelum nikah. Padahal ta’aruf yang sesungguhnya akan terjadi setelah melangsungkan pernikahan.
Menikah itu adalah mempertemukan dua individu untuk sebuah komitmen perjalanan panjang. Dua individu itu sedekat apapun pasti memiliki perbedaan dalam banyak hal. Perbedaan selera makan, pakaian, hingga kepada pandangan tentang masalah-masalah hidup. Bahkan selera terhadap acara TV sekalipun kerap berbeda.
Salahkah perbedaan itu ? Tidak sama sekali. Berbeda itu alami dan kadang menjadi sumber keberkahan tersendiri. Tapi untuk mendatangkan keberkahan diperlukan “ilmu”. Ilmu inilah yang sekarang menjadi salah satu mata pelajaran penting di berbagai Universitas dengan nama “menejemen konflik” atau “konflik resolution”.
Di sinilah maknanya ketika “saling belajar” atau saling mengenal itu menjadi salah satu pilar penting dari perjalanan hidup ini.
Keempat, A Journey of Partnership
Bahwa perkawinan adalah a journey of partnership atau perjalanan kerjasama. Jika kita kembali ke kata “pasangan” dalam bahasa Arab, tentu kata ini saja sudah cukup mewakili makna tersebut. Pasangan dalam bahasa Arab disebut “zauj”.
Kata zauj adalah sebuah penggambaran “keterpautan” atau keterkaitan. Bahwa zauj atau pasangan memang saling terkait dan terpaut.
Karenanya perjalanan dalam menghadapi ragam “naik turunnya” kehidupan memerlukan kebersamaan atau keserasian. Untuk terbangunnya keserasian itu ada satu hal yang sangat mendasar bagi keduanya untuk disadari. Hal itu adalah “tawadhu’ alias rendah hati (humbleness). Sebuah karakter yang bernilai tinggi (valuable) dalam hidup manusia.
Tawadhu’ itu sesungguhnya memiliki dua sisi.
Sisi pertama adalah pengakuan atau “acknowledgment” bahwa pada masing-masing pihak dalam pasangan itu tidak sempurna dan memiliki banyak kekurangan (shortcomings). Karenanya di sinilah pentingnya pasangan untuk hadir dan menyempurnakan ketidaksempurnaan itu.
Sisi kedua adalah membangun kesadaran penuh bahwa pada pasangan masing-masing ada “kelebihan” yang dapat diberikan (contribute) untuk menutupi kekurangan yang pada pada pasangannya. Sikap tawadhu inilah yang akan memastikan terjadinya “kebersamaan” (partnership) yang solid dalam melanjutkan “journey of life”atau perjalanan hidup ini.
Hilangnya kesadaran ini menjadikan kebersamaan ini menjadi rentang pecah dan terpisah.
Kelima, A Journey of Learning
Bahwa perkawinan itu adalah perjalanan untuk saling menyesuaikan (be fitting) sisi perbedaan yang ada di pasangan itu. Pada bagian terdahulu disebutkan bahwa perkawinan itu adalah “a journey of learning” atau perjalanan dalam proses belajar.
Selain tentunya belajar mengelolah keluarga, juga yang terpenting adalah belajar mengenal pasangan masing-masing.
Belajar mengenal inilah yang kerap dikenal dengan “ta’aruf” yang pada umumnya masih disalah ditafsirkan oleh anak muda zaman now sebagai “pacaran”. Padahal ta’aruf sejatinya bukan pacaran.
Ta’aruf adalah sebuah proses saling mengenal lebih jauh, lebih dalam dan detail tentang pasangan masing-masing. Dan itu hanya mungkin terjadi ketika setelah menikah. Dan proses ta’aruf ini akan untuk selamanya.
Tentu tujuan terutama dari saling belajar itu agar terjadi “kesesuaian” (to be fitting). Pada aspek inilah kita diingatkan sebuah ayat dalam Al-Quran: “Mereka adalah pakaian bagi kamu. Dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.
Kata “libaas” (pakaian) ini memiliki banyak makna filosofis atau hikmah-hikmah yang dapat diambil. Tapi ada dua yang paling penting:
1. Libaas atau pakaian hanya bisa bermafaat maksimal bila sesuai dengan ukuran yang memakainya. Ini penggambaran bahwa suami dan isteri itu harus saling menyesuaikan diri.
Salah satu yang seringkali menjadi masalah dalam rumah tangga misalnya adalah ketika isteri tidak mau menyesuaikan kebiasaan belanjanya dengan keadaan penghasilan suaminya. Betapa sering terjadi penyelewegan publik (korupsi) disebabkan oleh hal seperti ini.
2. Libaas atau pakaian tentunya juga secara mendasar berfungsi sebagai “sitr” (penutup). Karenanya suami dan isteri dalam kapasitasnya sebagai pakaian harusnya menempatkan diri masing-masing sebagai penutup kekurangan dan aib pasangannya.
Sayang dalam dunia media sosial saat ini sungguh berat bagi masing-masing untuk saling menutupi, khususnya jika terjadi pertikaian misalnya. Terkadang di luar alam sadarnya masing-masing, mereka justru saling menelanjangi di akun media sosial.
Karenanya perkawinan itu adalah proses hidup untuk saling menyesuaikan, saling menutupi sebagaimana fungsi pakaian. Jika tidak terjadi penyesuaian-penyesuaian itu maka akan terjadi kepincangan panjang dalam kehidupan rumah tangga itu.
Keenam, A Journey to Face The Challenge
Bahwa perkawinan itu adalah a journey to face the challenge. Perkawinan itu adalah jalan menghadapi tantangan hidup. Hidup itu memang identik dengan “tantangan”. Intinya manusia hidup untuk dicoba. Maka sangat wajar jika hidup memang alaminya memang tantangan pada dirinya (a challenge in itself). “Dialah Allah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik dalam amal”. Demikian Al-Quran menegaskan.
Oleh karena hidup ada tantangan atau cobaan (balaa) maka sudah pasti semua orang akan tertantang. Dan pastinya pula bahwa tantangan ini tidak mungkin dihindari selama hidup masih di kandung badan. Tantangan hidup hanya akan berakhir dengan berakhirnya hidup seseorang.
Yang dapat dilakukan manusia bukan melarikan diri dari tantangan. Tapi mencari cara yang lebih baik dan efektif dalam merespon. Itu sesunggguhnya makna: “Ayyukum ahsanu amal”. Kata “amala” berarti “cara merespon tantangan atau balaa” dalam hidup.
Di sinilah rahasia kenapa perkawinan menjadi fundamental dalam hidup manusia. Karena tak seorang pun yang bisa saling membantu (ta’awun) dalam menghadapi tantangan hidup itu lebih dari pasangan masing-masing.
Kata orang: “pasangan (suami-isteri) itu adalah dua sisi mata uang”. Tanpa sisi lain uang tidak akan bernilai. Pada sisi lain, di saat tantangan meninggi dalam hidup, dan itu terkadang “rough” (keras), kata orang Amerika, orang yang paling bisa meringankannya adalah pasangan hidup itu sendiri.
Di sinilah barangkali salah satu makna ketika Allah menyebutkan pasangan sebagai sumber “ketenteraman” atau ketenangam hidup. “Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah dijadikannya pasangan dari diri-diri kamu untuk kamu mendapatkan “sakinah” darinya”.
Rasulullah SAW dengan segala tantangan hidup dan tugas kerisalahan, kerap menemukan ketenangan itu di saat kembali ke rumah tangganya. Maka beliau dengan tegas menyatakan bahwa “syurga” (kepuasan, kebahagiaan, ketenangan) beliau temukan di rumahnya.
“Baitii Jannatii” (rumahku syurgaku), sabda baginda Rasul SAW.
Ringkasnya, perkawinan itu sesungguhnya adalah perjalanan bersama dalam menghadapi sesuatu yang paling pasti dalam hidup. Yaitu tantangan hidup yang merupakan tabiat dasar hidup itu sendiri. Poin-poin terdahulu seperti “libaas” atau “zauj” semuanya menunjukkan urgensi pasangan dalam melanjutkan langkah dalam perjalanan hidup yang penuh tantangan itu.
Di sinilah seringkali cara berpikir anak-anak muda zaman now terbaik. Disangkanya bahwa dengan menikah beban hidup akan semakin bertambah. Padahal beban hidup itu sudah diukur berdasarkan kapasitas masing-masing manusia.
Menikah memang secara kwantitas menambah tanggung hidup. Tapi bukan beban. Sebaliknya menikah akan menambah energi dan kwalitas dalam menjunjung tanggung jawab dan dalam menghadapi tantangan hidup itu.
Ketujuh, A Journey of Love
Bahwa pernikahan itu adalah a journey of love. Sebuah perjalanan hidup dalam ikatan cinta kasih yang hakiki.
Al-Quran menggambarkan bahwa terjadinya “saling tertarik” (litaskunuuh) antara dua manusia yang berbeda jenis kelamin (pria-wanita) itu adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Yang unik kemudian bahwa ketertarikan itu kemudian diperkuat atau diperindah dengan, “mawaddah” (cinta kasih) dan “rahmah” (kasih sayang).
Mawaddah itu adalah rasa hati. Tapi mawaddah atau rasa hati pada tataran ini pada galibnya didorong oleh faktor-faktor eksternal. Orang cinta biasanya karena kecantikan, kepopuleran, kekayaan, keahlian (ilmu), atau bahkan karena karakter pasangannya.
Mencintai karena faktor-faktor tertentu itulah representasi dari kata “mawaddah”.
Apakah mencintai karena faktor-faktor eksternal itu salah? Tentu tidak. Justeru hadits Rasululllah SAW menjelaskan bahwa wanita dinikahi karena empat faktor. Tiga di antaranya bernuansa eksternal; kecantikan, kekayaan, keturunan. Walaupun pada akhirnya hendaknya faktor agama dan akhlak harus menjadi motivasi prioritas. Karena Itulah benteng pernikahan yang paling solid.
Karena itu “mawaddah” perlu dijaga. Kecintaan dan faktor-faktor kecintaan itu tetap perlu dijaga. Kecantikan misalnya, atau sebaliknya ketampanan bagi pria, bukan tidak perlu. Isteri dan juga suami perlu menjaga agar tetap memiliki attraksi (daya tarik) bagi pasangannya.
Bukan sebaliknya seperti kata orang. Ketika bersama pasangan berpakaian lusuh, bau terasi, dan tidak menampakkan keindahan yang menarik pasangannya. Tapi ketika bersama orang lain, keluar rumah misalnya, maka semua faktor ketertarikan itu diumbar. Akibatnya yang tertarik bukan pasangannya lagi, melainkan orang yang harusnya tidak punya hak atas dirinya.
Karenanya sekali lagi pernikanan adalah a journey of love, perjalanan menumbuh suburkan cinta kasih itu. Tapi untuk itu terjadi tentu jangan sampai faktor-faktornya terabaikan.
Ketujuh, A Journey of “Mercy”
Perkawinan itu adalah a journey of “mercy” atau perjalanan “rahmah” atau kasih sayang.
Jika “mawaddah” termotivasi oleh faktor-faktor eksternal maka “rahmah” (kasih sayang) itu tumbuh dari sebuah kesadaran “internal”. Yaitu sebuah kesadaran yang secara pertimbangan akal manusia terkadang tidak diterima.
Rasulullah SAW digelari “rahmatan lil-alamin” (kasih sayang bagi seluruh alam) karena kecintaan atau kasih beliau kepada semua alam tidak lagi didorong faktor-faktor ekstrenal. Beliau sayang kepada pengikutnya. Tapi juga sayang kepada yang menentangnya.
Itulah esensi rahma. Yaitu ekspresi kasih yang tumbuh dari dalam hati kecil, yang termotivasi oleh satu satu faktor; ridho Allah SWT.
Maka sangat logis jika Al-Quran menggandengkan kata “mawaddah” dengan kata “rahmah”. Karena di saat-saat mawaddah terkikis oleh perjalanan masa, hendaknya pernikahan menjadi solid dengan fondasi “Rahmah”.
Bahwa dalam perjalanan ini hubungan keluarga terus ditumbuh suburkan bukan lagi karena faktor-faktor eksternal yang umumnya mengalami perubahan. Tapi yang terpenting karena dorongan hati yang dalam berbasis “ridho Allah”.
Kedelapan, A Journey of Civilization
Bahwa pernikahan itu adalah a journey of civilization atau perjalanan hidup dalam berperadaban.
Sebagaimana disebutkan pada bagian pertama tulisan ini bahwa hidup itu adalah institusi. Dan bagian pertama yang terbangun dalam institusi hidup manusia adalah “pernikahan”. Karenanya ketika berbicara tentang kehidupan peradaban maka pernikahan adalah awal dari terbangunnya fondasi peradaban manusia.
Di sinilah kita melihat bagaimana Islam memberikan perhatian kepada keluarga. Dari proses mencari pasangan hingga kepada bagaimana menjaga keluarga dari kehancuran (neraka). Karena keluarga adalah miniatur peradaban manusia.
Di masyarakat yang mengalami banyak “broken home” pastinya adalah juga masyarakat yang berada di ambang kehancurannya (broken society).
Jika kita melihat dunia Barat, dari aspek ekonomi, politik, bahkan militer nampak tidak mengalami masalah (krisis). Tapi masyarakat Barat boleh jadi berada di ambang kehancurannya.
Tentu salah satunya karena institusi keluarga semakin rentang mengalami degradasi dengan ragam konsep dan gaya hidup (life style) yang jelas mengancam insititusi pernikahan yang “morally and naturally recognized” (diakui secara moral dan alami).
Saya tidak perlu memberikan uraian secara detail tentang ancaman itu. Tapi sudah menjadi maklumat umum bahwa pernikahan di Dunia Barat tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang mendasar dalam hidup manusia. Bukan sesuatu yang penting dalam membangun institusi hidup menuju kepada peradaban itu.
Maka hidup tanpa ikatan nikah berubah menjadi normal, bahkan dilihat lebih rasional dan aman. Dengan hidup bersama tanpa ikatan nikah tidak perlu khawatir dengan kepemilikan pribadi misalnya. Suami tidak perlu khawatir digugat oleh isterinya jika terjadi perceraian.
Hidup bersama tanpa nikah lebih aman. Sebab dengannya tidak ada beban ikatan. Dan bisa “good bye” kapan saja.
Logika hidup seperti ini semakin menjadi umum dan lumrah. Akibatnya hidup berperadaban semakin tergeser menjadi hidup yang tidak beradab. Manusia merasa beradab ketika hidup itu semakin “hewani” sifatnya. Bahkan lebih buruk lagi dari hewan. Karena hewan masih punya “instink” yang tajam untuk menghindarkan diri dari self destruction (merusak diri sendiri).
Manusia malah ketika sudah kehilangan fitrahnya akan melakukan prilaku yang hewan pun tidak akan melakukannya.
Di sinilah kemudian pernikahan itu menjadi fondasi bagi terbangunnya kehidupan yang berperadaban sekaligus menjadi fondasi peradaban itu. Masyarakat yang solid dalam intitusi keluarga itu masyarakat yang berproses membangun peradaban dunia yang solid.
Kesembilan, A Journey Together to The Real Future
Perkawinan itu adalah a Journey togather to the real future. Bahwa pernikahan itu adalah perjalanan bersama ke masa depan yang sejati.
Together atau bersama adalah kata inti dari keluarga. Keluarga itu akan bersama dalam hidup apapun warna hidupnya. Hidup mudah bersama dalam kemudahan. Hidup susah bersama dalam kesusahan. Kaya bersama dalam kekayaan dan miskin bersama dalam kemiskinan.
Real future adalah masa depan abadi yang pasti. Orang beriman itu masa depannya tidak dibatasi oleh dinding-dinding dunia sementara. Justeru dunia ini adalah tempat dan masa untuk menyiapkan masa depan sejati itu.
Maka the real future (masa depan sejati) bagi orang beriman adalah kampung ukhrawi. Final home (rumah terakhir) dalam perjalanan hidup panjang.
Maka pernikahan adalah janji dan komitmen bersama untuk menjalani hidup sementara ini menuju kepada masa depan abadi itu (ukhrawi). Sehingga di saat kata-kata “ijab qabul” terucap maka saat itu pula masing-masing berjanji untuk melangkah bersama, tidak saja hingga kematian. Tapi bersama hingga akhir, di syurga nantinya.
Al-Quran menggambarkan kehidupan suami isteri dalam syurga menikmati keindahan dan kenikmatan syurga bersama. Surah Yasin mislanya menggambarkan bagaimana pasangan suami isteri menikmati tempat duduk bagaikan singgasana kerajaan (hum wa azwajuhum alal araaiki muttakiuun).
Baginya semua bentuk kesenangan, termasuk buah-buahan. Dan yang terdengar di telinga mereka hanya kata-kata yang damai, sejuk menentramkan. Tentu tidak lagi terjadi cekcok dan caci maki antara suami isteri yang sering terjadi di dunia ini.
Penggambaran seperti ini menunjukkan bahwa pernikahan itu memang perjalanan panjang yang tiada batas (abadi). Karenanya dan dengan sendirinya pernikahan yang kadang dipromosikan sebagai pernikahan dengan batas waktu atau mut’ah adalah batal dan batil.
Kesepuluh A Journey of Obedience
Pernikahan itu adalah a journey of obedience. Bahwa pernikahan itu adalah perjalanan bersama dalam ibadah dan ketaatan. (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar