Sabtu, 11 Maret 2017

Menyederhanakan Yang Tidak Sederhana



Dalam urusan ajar mengajar, seorang guru dituntut untuk menyederhanakan materi yang diajarkannya kepada para muridnya, melakukan simplifikasi sedemikian rupa, mencari cara, peralatan dan metode yang memudahkan para murid untuk dapat memahami materi yang disampaikannya.
Seorang juru dakwah, dalam berinteraksi dengan para mad’unya, juga dituntut untuk melakukan pola-pola penyederhanaan dan simplifikasi, dengan mempergunakan berbagai contoh, permisalan dan ilustrasi, agar materi dakwah yang disampaikannya sampai dan dapat diterima oleh para mad’u.
Dalam urusan software, baik untuk computer ataupun untuk gadget elektronik lainnya, juga dikenal pola-pola penyederhanaan, yang diantaranya, yang sangat populer adalah adanya shortcut yang kegunaannya adalah membuat “jalur pintas” untuk sampai kepada maksud dan tujuan tertentu dalam computer dan atau gadget itu.
Intinya, pola-pola penyederhanaan adalah sesuatu yang lazim dan lumrah dalam berbagai urusan kehidupan.
Namun, adanya berbagai pola penyederhanaan itu, dan tanpa bermaksud menyepelekan urgensinya, tidak boleh sampai ke tingkat “menafikan” atau “menegasikan” atau tutup mata terhadap adanya banyak berbagai hal rumit, njlimet dalam urusan kehidupan ini, baik urusan agama, dakwah, social, politik, ekonomi dan lain sebagainya.
Juga perlunya kita memahami berbagai hal dan urusan rumit itu, melakoni dan menjalaninya, agar kita bisa sampai kepada tujuan dan cita-cita yang kita inginkan.
Dan jika kita tidak memahami dengan baik adanya hal-hal dan urusan-urusan rumit itu, lalu, menjalani dan melakoninya dengan baik, maka penyederhanaan itu justru akan merugikan diri kita.
Sekedar contoh, adalah penyederhanaan terhadap kisah Thalut, di mana dia “hanyalah” seorang penggembala kambing yang miskin. Namun, saat dia “diberi kesempatan”, ternyata terbukti dia memiliki kemampuan untuk memimpin Bani Israil dalam menghadapi pasukan Jalut yang sangat luar biasa kehebatannya. Jadi, tidak mengapa kita memilih pemimpin yang sekelas seorang penggembala kambing sekalipun.
Hal ini, menurut saya, perlu ditinjau ulang. Paling tidak, karena dua alasan:
Pertama: Bukankah Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah 247 memberikan dua sifat yang istimewa kepada Thalut, dimana dua sifat ini:
  1. Tidak dimiliki oleh Bani Israil lainnya, dan
  2. Dua sifat yang dimiliki oleh Thalut inilah sifat yang secara waktu, tempat, momentum dan relevansi, paling diperlukan oleh Bani Israil pada waktu itu.
Dua sifat yang dimaksud dan disebut dalam Q.S. Al-Baqarah 247 itu adalah:
  1. Basthatan fil ‘ilmi (keluasan ilmu) dan
  2. Kemampuan fisik yang diperlukan untuk perjuangan Bani Israil.
Jadi, terkait dengan kisah Thalut, berdasarkan Q.S. Al-Baqarah 247, kesimpulannya, tidaklah sesederhana bahwa dia itu “hanya” seorang penggembala kambing.
Kedua: Sebenarnya, status dan fakta bahwa Thalut itu seorang penggembala kambing, menurut saya, tidaklah sesederhana “sekedar menggembala kambing”.
Sebab, bukankah menggembala kambing, khususnya di era dan zaman itu, maknanya adalah:
  1. Menghadapi kemungkinan serbuan atau serangan penjahat, baik yang individu (personal) maupun yang kolektif (geng rampok, misalnya).
  2. Menghadapi kemungkinan serbuan binatang-binatang buas: singa, hyena (dubuk), anjing liar, serigala dan semacamnya.
  3. Kemampuan untuk membimbing, membina, mengarahkan, dan memimpin kambing-kambing yang dipeliharanya ke tempat-tempat dan kepada hal-hal yang membawa maslahat bagi kambing-kambing itu, serta menjauhkan dan menghindarkannya dari segala mara bahaya.
Menariknya, tiga hal ini mesti dilakukan oleh Thalut sepanjang hari selama satu minggu dan sepanjang tahun. Setiap saat,
Sedikit lebih detailnya:
  1. Thalut harus mempunyai “peta global” kawasan penggembalaan kambingnya dan sekitarnya.
  2. Thalut harus mempunyai berbagai macam prediksi (tawaqqu’at) tentang apa yang mungkin terjadi dengan diri dan kambing-kambingnya.
  3. Thalut harus selalu menyusun rencana, strategi dan siasat dalam menggembalakan kambing-kambingnya, dengan mempertimbangkan “peta global” dan “tawaqqu’at” yang ada.
  4. Thalut juga memiliki berbagai scenario atas apa yang mungkin dan bisa terjadi dengan diri dan kambing-kambingnya.
  5. Dan Thalut harus menjalankan kepemimpinannya terhadap kambing-kambingnya itu.
Semua kemampuan ini terbentuk dari waktu ke waktu, dan semakin matang dengan berjalannya “profesi” ini.
Maka wajar, kalau Allah SWT mensifatinya dengan dua sifat sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Inti dan kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah: terkait dengan Thalut, tidaklah sesederhana “seorang penggembala kambing”, oleh karena itu, janganlah disederhanakan sedemikian rupa.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar