Jumat, 26 September 2025

Kuliah Prof. Brian



Namanya Prof. Brian. Jabatannya: Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Disingkat: Diktisaintek.

Kemarin, beliau memberi 'kuliah'. Di depan orang-orang penting dari seluruh Indonesia: para Wakil Rektor Bidang Kerja Sama. Tempatnya di kampus perjuangan itu, ITS Surabaya. Acaranya punya nama keren: FORWAREK.

Saya sebut 'kuliah' karena isinya memang begitu. Lugas. Langsung ke jantung persoalan. Seperti secangkir kopi pahit di pagi hari: membuat mata yang mengantuk jadi terbuka lebar.

Prof. Brian tidak bertele-tele. Beliau langsung menyodorkan sebuah mimpi besar. Mimpi kita semua. Yaitu, target Indonesia menjadi negara maju. Angkanya jelas: PDB per kapita harus tembus tiga kali lipat dari sekarang.

Syaratnya? Pertumbuhan ekonomi harus lari di angka 8% per tahun. Berat? Sangat. Tidak bisa dicapai dengan kerja biasa-biasa saja.

Lalu, apa resep semua negara maju? Prof. Brian melempar kunci jawabannya: industri hebat. Dan di belakang setiap industri hebat, selalu ada kampus hebat yang menopangnya. Inilah formulasinya. Formulasi yang, jujur saja, masih menjadi PR besar kita.

Di tengah perenungan itu, Prof. Brian melontarkan antitesisnya. Sebuah pertanyaan retoris yang menampar.
"Bagaimana mau mengejar target itu," kata beliau kira-kira, "kalau mentalitas kita masih mentalitas jam lima sore?"

Sebuah kontras yang amat tajam. Antara ambisi setinggi langit dan kebiasaan senyaman kasur.

Lalu sang menteri memberi contoh. Bukan Eropa. Bukan Amerika. Tapi Korea Selatan.
"Coba lihat Korea. Jam sembilan malam," kata Prof. Brian, "mahasiswa di sana itu masih di laboratorium. Masih presentasi progres ke dosennya."

Prof. Brian seolah ingin kita berkaca. Jam sembilan malam, anak-anak muda kita, bahkan kita sendiri, sedang apa? Mungkin sudah asyik 'mabar'. Atau sudah nyaman scrolling HP atau di depan TV.

Ini bukan soal melarang hiburan. Sama sekali bukan. Ini soal urgensi. Soal kegilaan untuk maju. Kata Prof. Brian, sebuah bangsa butuh kaum elite yang ambisius. Yang gila kerja.

Lalu siapa kaum elite itu?

Prof. Brian menunjuk ke jantungnya: dunia kampus. Para mahasiswa, dosen, guru besar. Para intelektual. Di semua negara maju, kata beliau, kelompok inilah motornya. Jumlahnya besar. Pengaruhnya dahsyat.

Maka, ukuran ideal seorang dosen pun harus bergeser, menurut Prof. Brian. Bukan lagi soal berapa banyak namanya dikutip di jurnal Scopus. Bukan berapa banyak penelitiannya yang tersimpan rapi di perpustakaan.

"Dosen yang hebat," kata Prof. Brian, "adalah dosen yang menerima royalti dari hasil penelitiannya."

Artinya, riset harus 'membumi'. Harus bisa dijual. Dipakai industri. Menjadi solusi nyata. Kalau risetnya laku, dosen dan kampusnya dapat pemasukan. Negara dapat inovasi. Industri melesat maju. Simbiosis mutualisme.

Tentu, dosen tidak bisa jualan sendirian. Di sinilah peran para Wakil Rektor Bidang Kerja Sama itu. Para peserta 'kuliah' Prof. Brian hari itu.
Menurut menteri, jabatan mereka ini adalah ujung tombak. Panglima di medan perang industri. Maka, kantor mereka seharusnya bukan di dalam kampus.

"Kantor Anda itu di luar!" tegas Prof. Brian. "Di kawasan industri, di lantai pabrik, di ruang rapat Kadin, di lobi kementerian."
Tugas mereka bukan lagi menunggu proposal datang. Tapi menjemputnya. Bahkan menciptakannya. Mereka adalah Duta Besar yang membawa 'produk' riset terbaik kampusnya untuk ditawarkan ke dunia nyata.

'Kuliah' dari Prof. Brian di ITS kemarin itu benar-benar secangkir kopi yang sangat pahit. Tapi sangat perlu. Untuk membangunkan kita semua.
Kini tinggal kita. Mau terus berjalan santai di jalur 'jam 5 sore' yang nyaman tapi buntu? Ataukah kita berani mengambil jalan terjal 'jam 9 malam' yang melelahkan, tapi di ujungnya ada tujuan besar yang menanti?

AMH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar