Sabtu, 24 April 2021

Dengan semangat Ramadhan semakin bermanfaat untuk Umat

 

Merdeka.com - Sebentar lagi, bulan suci Ramadhan akan segera datang dan umat Islam akan melaksanakan ibadah puasa. Menjalankan ibadah puasa mendatangkan banyak hal positif terhadap pribadi maupun masyarakat.

Menjalankan ibadah puasa di suci bulan Ramadhan merupakan kewajiban setiap Muslim yang sudah baligh dan memenuhi syarat. Bagi yang tidak menjalankannya padahal telah memenuhi syarat, maka hukumnya adalah berdosa. Namun apabila berhalangan dalam menjalankan puasa karena sakit atau datang bulan, maka puasa wajib diganti di waktu lain dan juga diwajibkan untuk membayar fidyah.

1. Mencegah masyarakat dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Hikmah puasa yang pertama dapat meningkatkan ketaqwaan seorang hamba kepada Allah SWT. Menjalankan ibadah puasa adalah hal yang wajib, seperti yang tertera dalam ayat Al-Quran berikut ini;

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

(QS. Al Baqarah: 183).

Ayat ini menunjukkan salah satu hikmah puasa di bulan Ramadhan agar umat Islam dapat menggapai derajat takwa yang mulia. Ketika berpuasa, berarti umat Islam telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Dalam QS Al-Mu'minun ayat 1-2 Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya menanglah orang-orang yang beriman (1)

Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya (2)

(QS Al-M'minun: 1-2)

Sholat khusyuk tepat pada waktunya dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya saja, sebagaimana menurut aturan-aturan fikih. Khusyuk adalah persoalan ihsan, menurut Nabi Muhammad SAW, ihsan adalah melaksanaan ibadah dengan mengondisikan diri seolah-olah berhadapan dengan Tuhan.

Dengan begitu, sholat akan memberikan dampak positif pada kehidupan sehari-hari. Fungsi sholat itu sendiri antara lain ialah "mencegah perbuatan keji dan mungkar". Keberhasilan sholat, akan terlihat dalam sikap hidup yang mencerminkan kedamaian dan kemashalatan, jadi bukan pada kekerasan dan kerusuhan.

 

2. Mencegah Masyarakat dari bahaya Hawa Nafsu

Hikmah puasa yang kedua dapat membantu diri dalam mengontrol hawa nafsu. Puasa secara langsung melatih diri dan jiwa dari serangan hawa nafsu. Dengan berpuasa karena Allah SWT, seseorang diharapkan dapat menguasai dan mengontrol perbuatan-perbuatan yang dilarang.

Ketika sedang menjalankan ibadah puasa, alangkah baiknya menghabiskan waktu untuk mengerjakan hal-hal positif yang bermanfaat, yang dapat menciptakan kebaikan dan kebahagiaan dunia serta akhirat. Saat diri dapat meninggalkan kesenangan dunia sejenak, saat itulah dapat dikatakan bahwa kita telah mampu mengendalikan jiwa kita sendiri. Dan hal ini semua dilakukan karena Allah.

Dalam hadist qudsi,Allah SWT berfirman;

Dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku.

Al-Hawā atau hawa nafsu adalah potensi negatif yang ada di dalam diri. Kecederunganya kepada nafsu seksual dan nafsu perut.

“Rasulullah saw bersabda, hati-hatilah dengan hawa nafsu karena hawa nafsu itu membutakan dan membuat tuli.”

Orang yang sedang dimabuk asmara sulit menerima kebenaran dan nasehat karena hawa nafsu telah membutakan dan membuat tuli mata hati. Rasulallah saw mengingatkan agar umatnya hati-hati dengan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya kedalam kenistaan dan penyesalan.

Rasulullah saw bersabda,

Aku sangat mengkhawatirkan kepada umatku sepeninggalku tiga hal,

Pertama, kesesatan hawa nafsu.

Kedua, mengikuti syahwat perut dan seksual.

Ketiga, Lalai setelah mengetahui.

Kekhawatiran Rasulullah saw terhadap umatnya sangat beralasan karena ketiga hal tersebut akan membinasakan dan menghancurkan masa depan manusia.

Bahaya hawa nafsu

1.  Memperturutkan hawa nafsu membawa manusia kepada kesesatan.

 

Orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya selalu cenderung kepada perbuatan yang melampaui batas. Kejahatan seksual, perselingkuhan, pembunuhan dan sebagainya. Hawa nafsu itu bagaikan api yang berkobar di dalam dada, apabila diperturutkan akan semakin menggila, bagaikan api yang disiram bensin, semakin disiram, semakin menyala dan sulit dikendalikan.

 

Tidak sedikit manusia yang buta mata hatinya dalam memperturutkan hawa nafsunya. Atas nama cinta mengikuti hawa nafsunya melakuan perzinaan.  Setan menghiasi kemaksiatan dengan keindahan. Orang dalam kondisi seperti ini tidak dapat menerima nasihat karena hanya nasehat setan yang menjadi pedoman hidupnya.

Rasulullah saw bersabda,

Apabila Allah hendak menghancurkan suatu negeri, maka akan marak perzinaan.

Saat perzinaan dianggap lumrah, kemaksiatan dianggap biasa dan kejahatan sudah merata, maka siksa Tuhan akan datang segera.

 

2.Hawa nafsu membawa kepada kehancuran

 

Rasulullah saw bersabda,

Ada tiga hal yang menyelamatkan dan tiga hal yang membinasakan. Tiga hal yang menyelamatkan adalah bertakwa kepada Allah baik dalam keadaan sepi atau ditengah keramaian, berkata yang benar, baik dalam keadaan senang maupun marah dan hemat, baik dalam keadaan kaya atau miskin.

Adapun tiga yang membinasakan adalah bakhil (pelit) yang ditaati, memperturutkan hawa nafsu dan bangga terhadap diri sendiri.

 

Tidak sedikit manusia hancur dan binasa karena selalu mengikuti dorongan hawa nafsunya. Orang yang mengikuti hawa nafsunya bagaikan minum air laut, semakin diminum semakin haus.

 

“Rasulullah saw bersabda, setiap manusia akan dikumpulkan bersama yang diikutinya. Siapa yang mengikuti hawa nafsunya dalam kekafiran, maka dia akan dikumpulkan bersama orang-orang kafir dan tidak bermanfaat amalnya sedikitpun.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allâh ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allâh telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.

Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-An’ām/6: 119)

 

3. Menuhankan hawa nafsu

Puncak kesesatan para pengikut hawa nafsu adalah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Argumentasi rasional dibangunnya untuk mempertahankan kesesatannya.

 

Apabila argumentasinya lemah, maka mereka menggunakan analogi rendahan. Tidak sedikit seorang yang maksiat berkata, kenapa saya disalahkan dan dihukum, bukankah masih banyak orang lain yang melakukan kejahatan lebih besar dari saya? Padahal kejahatan dan kemaksiatan besar atau kecil adalah kejahatan.

Perzinaan sekali atau berulang kali adalah kejahatan. Mencuri sedikit atau banyak adalah kejahatan.  Bukankah pepatah mengatakan, tidak ada orang mati kesandung gunung tetapi orang mati kesandung kerikil, artinya kehancuran sering kali bukan pada intensitas kejahatan tetapi karena kejahatan itu sendiri walaupun kecil.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?

Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?(QS. al-Jātsiyah/45: 23)

 

Rasulullah saw bersabda, orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya dan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya.

 

3. Mencegah Masyarakat dari Perbuatan yang sia sia

Hikmah puasa yang ketiga adalah timbulnya kesadaran dan keinginan dari dalam diri untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi. Dalam keadaan berpuasa, orang cenderung ingin selalu berbuat baik pada sesama dan menjauhi segala larangan Allah SWT.

Hal ini adalah salah satu hikmah puasa yang baik, karena jika kita tergoda untuk melakukan perbuatan maksiat atau tercela, maka akan menjadi sia-sia pula ibadah yang telah dilakukan.

Rasullullah SAW bersabda,

Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga saja.

Saat puasa, baiknya sibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Lakukan hal-hal baik yang sekiranya menguntungkan bagi diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, sebaiknya tinggalkan juga perbuatan-perbuatan negatif seperti ghibah, berbohong, dan hal lain yang sia-sia.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, Aku sedang puasa, aku sedang puasa.

Dalam QS Al-Mu'minun ayat 1-2 Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya menanglah orang-orang yang beriman (1)

Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya (2)

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (3)

(QS Al-M'minun: 1-3)

 

Mengisi hidup ini dengan kegiatan yang bermanfaat dan meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Dalam pengertian yang lebih luas, penjelasan 'anil lahwi mu'ridhuuna adalah menjauhkan diri dari segala perbuatan yang kontradiktif.

 

Seringkali manusia melakukan perbuatan yang positif, namun kemudian meneruskannya dengan perbuatan negatif yang berakibat mementahkan kembali makna yang positif itu.

 

Dalam Alquran, Allah SWT memperingatkan, agar kita jangan sampai meniru perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wanita yang memintal benang, tetapi kemudian mengurai kembali pintalan itu yang berakibat pada hancurnya hasil yang sudah disusun sebelumnya.

 

Hal itu dijelaskan  Allah dalam QS An-Nahl ayat 92: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali."

 

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani pernah menulis pernyataan Sayyidina Utsman bin Affan dalam kitab Munabbihât 'alâs –ti'daddi li yaumil Mi'ad tentang sepuluh hal yang paling sia-sia.

 

Pertama, orang alim yang tidak ditanya mengenai ilmunya.

 

Tentang hal ini ada dua kemungkinan, yakni karena orang alim itu enggan mensyiarkan ilmunya atau karena orang-orang awam di sekitarnya menjadi orang alim sebagai sumber rujukan.

 

Kedua-duanya merupakan perilaku negatif karena ilmu seharusnya menjadi pedoman agar tiap langkah dalam kehidupan ini berjalan sesuai dengan jalan yang tepat.

 

Kedua, ilmu yang tak diamalkan.

 

Senada dengan yang pertama tadi, ini adalah gejala di mana orang-orang tak terlalu menghargai ilmu. Bukan saja pemilik ilmu, bahkan juga ilmu itu sendiri. Ilmu diperoleh namun tidak dilaksanakan. Fenomena ini sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

 

Betapa banyak di antara kita yang mengerti bahwa berbohong adalah dosa, namun di saat yang sama kita melanggarnya. Betapa banyak pejabat pintar yang korupsi. Dan betapa banyak orang yang mengerti hukum yang terjerat kasus hukum.

 

Semua ini dikarenakan ilmu yang ada dalam diri mereka sia-sia belaka, tak memberi kemanfaatan bagi kebaikan hidup mereka.

 

Ketiga, pendapat yang benar namun ditolak.

 

Islam sangat menganjurkan para pemeluknya untuk bermusyawarah. Ajaran ini didorong oleh ajakan agar manusia terbuka dengan pendapat orang lain. Ketika pendapat itu benar maka harus diakui benar.

 

Kebenaran tidak ada kaitannya dengan siapa yang mengatakannya. Karena itu menjadi salah bila kita menolak pendapat yang benar hanya karena yang mengemukakan adalah orang yang kita benci. Kebenaran dan kebencian adalah dua hal yang berbeda dan harus dipisahkan.

 

Keempat, senjata yang tidak digunakan.

 

Senjata dalam pengertian hari ini bisa dianalogikan sebagai kekuasaan. Ketika kita memiliki kewenangan untuk menekan, misalnya jabatan politik atau posisi strategis lainnya, dan tidak dimanfaatkan untuk kebaikan, maka kewenangan itu akan sia-sia.

 

Senjata adalah simbol kekuatan dan sungguh sayang sekali orang yang tak mampu memanfaatkan kekuatan tersebut dengan baik.

 

Kelima adalah masjid kosong dari orang salat.

 

Esensi masjid adalah tempat untuk bersujud. Jika fungsi ini hilang, hilang pula hakikat ia sebagai masjid. Keterangan ini juga bisa dimaknai masjid yang mulai dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek segelintir saja, semisal politik praktis.

 

Atau bisa pula dijadikan kritik terhadap keadaan ironis masa kini, di mana masjid kian banyak dan dibangun secara megah namun tidak kian menarik jamaah untuk lebih nyaman di dalamnya.

 

Masjid menjadi tempat yang kian asing. Aktivitas-aktivitas keagamaan semakin sepi.

 

Keenam, Alquran yang tidak dibaca.

 

Kitab suci sekadar menjadi kitab yang disucikan, bukan sekaligus dibaca lalu diamalkan. Padahal, membaca Alquran meski si pembaca tidak mengerti artinya bernilai pahala.

 

Apalagi bila ia mau belajar kandungan makna di dalamnya untuk kemudian mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berkenaan dengan hubungan kepada Allah maupun sesama makhluk.

 

Ketujuh, adalah harta yang tidak diinfakkan.

 

Sayyidina Utsman secara tersirat hendak mengingatkan bahwa harta yang digunakan untuk keperluan sehari-hari lantas lepas dari status sia-sia. Sebab, harta juga mesti diinfakkan. Ketika tanggung jawab yang kedua ini hilang, maka hilang pula nilai kemanfaatan dari harta tersebut.

 

Itulah alasan mengapa Islam mewajibkan zakat dan menekankan keutamaan bersedekah. Infak dari sebuah kekayaan sekecil apa pun jumlahnya bernilai berkah dan menyucikan harta secara keseluruhan.

 

Kedelapan, kendaraan yang tidak ditunggangi.

 

Kendaraan adalah alat untuk menuju tujuan tertentu. Karena ia adalah wasilah (perantara). Di zaman serbacanggih ini wujud wasilah begitu banyak, mulai dari alat transportasi, media sosial, alat komunikasi, dan lain-lain.

 

Tingkat kemudahannya mungkin ratusan kali lipat dari 'kendaraan' yang ada pada era Nabi. Namun, apakah wasilah-wasilah di zaman sekarang lebih bermanfaat daripada zaman itu? Ini menjadi bahan renungan kita bersama.

 

Kesembilan, ilmu zuhud di hati orang yang cinta dunia.

 

Artinya, sia-sia seseorang belajar ilmu tentang zuhud tapi hatinya belum bisa lepas dari cinta dunia. Sebab zuhud bukan semata berurusan dengan pengetahuan, melainkan tentang olah batin untuk mendudukkan segala hal selain Allah dalam posisi yang tidak prioritas.

 

Kesepuluh, umur panjang yang tak dimanfaatkan untuk mencari bekal (ke akhirat).

 

Ini namanya penyia-nyiaan kesempatan. Peluang hidup di dunia hanya sekali, dan umur yang telah dilewati juga tak akan pernah kembali. Begitu usia kita habis hanya untuk perkara duniawi dan urusan diri sendiri, sia-sialah kita usia kita. Apalagi dalam Al-Qur’an kita sudah dingatkan bahwa kehidupan di akhirat adalah lebih utama ketimbang kehidupan di dunia.


4. Membangun Masyarakat Unggulan.

Hikmah puasa yang ke empat adalah meningkatkan kepekaan perasaan terhadap orang-orang di sekitar yang kurang mampu atau miskin. Ketika berpuasa, orang akan merasa kelaparan dan kehausan. Dengan ini, seseorang akan merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh orang-orang miskin, fakir, yang hidupnya penuh kekurangan.

Hikmah puasa Ramadhan ini membuat kita ikut merasakan penderitaan orang yang kurang beruntung secara ekonomi. Ketika kita menahan lapar dan haus saat puasa, perasaan ini jugalah yang selalu dirasakan oleh para fakir miskin setiap harinya di luar bulan puasa. Merasakan emosi-emosi seperti ini membuat kita dapat semakin berempati dan bersimpati kepada mereka yang kurang beruntung.

Dalam QS Al-Mu'minun ayat 1-2 Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya menanglah orang-orang yang beriman (1)

Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya (2)

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (3)

dan orang-orang yang menunaikan zakat (4) 

(QS Al-M'minun: 1-3)

 

Ayat di atas mengajarkan kepada Umat Islam agar mempunyai kepedulian sosial. Kita dituntut untuk membayar zakat, yang mengandung pelajaran bahwa apa yang kita miliki sebagai nikmat Allah yang harus berdampak sosial dan bukan semata-mata bersifat individual.

 

Orang yang memiliki kepedulian sosial adalah orang yang menang. Karena, secara psikologis dia menjadi orang yang berada dalam posisi menang. Umat Islam harus dipacu menjadi orang yang kuat ekonominya. Nabi Muhammad SAW seringkali menyatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah.

 

5. Baik Bagi Kesehatan Jasmani

Hikmah puasa yang kelima adalah fakta bahwa berpuasa ternyata juga membantu meningkatkan kesehatan jasmani sebagaimana rohani. Dengan berpuasa, kebutuhan rohani akan kedekatan dengan Allah SWT dapat terpenuhi dan oleh karenanya mendatangkan pula manfaat berupa pahala dan kebaikan jasmani.

Berpuasa dapat membuat kesehatan jasmani seseorang jadi meningkat dan lebih baik. Kal ini dikarenakan ketika puasa, orang akan tidak banyak melakukan aktivitas makan dan minum sebagaimana biasanya. 

Hal ini membantu mengistirahatkan sistem pencernaan dalam tubuh selama sementara waktu. Juga memberi kesempatan bagi tubuh untuk mengeluarkan semua kotoran dan zat-zat berbahaya yang terdapat di dalamnya.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda: “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, namun pada masing-masing (dari keduanya) ada kebaikan.

Bersemangatlah terhadap hal-hal yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan menjadi lemah. Jika kamu ditimpa sesuatu, jangan berkata seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu, tetapi katakanlah Allah telah menakdirkan, dan kehendak oleh Allah pasti dilakukan.

Sebab kata ‘seandainya’ itu dapat membuka perbuatan setan.” [HR. Muslim].*

Masyarakat yang jasmaninya sehat akan memiliki kekuatan untuk  melawan musuh, seperti dalam surat al-Anfal [8]: 60

kekuatan dalam melawan musuh, seperti dalam surat al-Anfal [8]: 60

Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Dengan demikian, seorang mukmin yang memiliki kekuatan dan keteguhan dalam melawan musuh agama adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. daripada seorang mukmin yang lemah dalam menghadapi musuh.

Bukankah semua sahabat yang ikut berperang pada peperangan Badar, mendapat tempat yang sangat tinggi di hadapan Allah dibandingkan sebagian sahabat yang ikut para perang Uhud, terutama para sahabat yang tidak memiliki kekuatan iman dan keteguhan hati, sehingga mereka lalai terhadap pesan Rasualullah saw?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar