Minggu, 13 Desember 2020

Cendekiawan dan kebenaran




Al Walid bin Mughirah, seorang ahli sastra Quraisy, datang menemui rasulullah SAW. Ia diutus kaumnya untuk menyelidiki kebenaran risalah Muhammad. Mereka berharap, Al Walid dapat bergabung dengan kelompok penentang islam, lantaran suara seorang sastrawan terpandang akan sangat mempengaruhi pikiran masyarakat umum. 

Beberapa ayat dibacakan rasulullah SAW kepada Al Walid. Pentolan Quraisy itu tampak tertegun dan terkesima. Ia sangat tertarik pada ungkapan wahyu yang keluar dari suara merdu orang yang dimusuhi di kota Mekkah itu.

Kepulangan Al Walid disambut Abu Jahal. Gembong penentang islam itu langsung menanyai hasil- hasil pengamatan rekannya itu. Tanpa canggung Al Walid menyatakan kekagumannya kepada agama “baru” itu. Abu Jahal, yang sebenarnya telah mendengar simpati Al Walid, langsung membujuk.
“Hai paman, sesungguhnya kaummu akan mengumpulkan harta untuk diberikan kepadamu dengan maksud agar engkau mengganggu Muhammad!” katanya.

Al Walid menatap Abu Jahal dengan penuh heran:

“Bukankah kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku yang paling kaya di antara mereka?”

Merasa tersudut, Abu Jahal jadi bersikap terbuka. Dukungan Al Walid sangat dibutuhkan dalam menghancurkan Islam.

“Kalau begitu ucapkan saja suatu perkataan yang menunjukkan bahwa engkau ingkar dan benci kepadanya!” ujarnya.

Al Wallid justru merasa terhina. Intelektualitasnya bagai diinjak – injak dengan ajakan vulgar itu. Ia pun membantah:

“Apa yang harus aku katakan? Demi Allah, tidak ada di antara kalian yang lebih tinggi kemampuan syi’ir dan qashidahnya, dan syi’ir-syi’ir jinnya daripadaku. Demi Allah, sesungguhnya tidak ada yang menyerupai ucapan Muhammad sedikit pun dari yang kuketahui. 

Demi Allah, ucapannya bagus, manis dan indah, gemilang dan cemerlang. Ucapannya tinggi, tidak ada yang lebih tinggi daripadanya. Kesemuanya yang kuketahui lebih rendah daripadanya!”
Abu Jahal hilang kesabaran. Ia mengancam:

“Baiklah, tidak akan senang kaumku sebelum engkau tunjukkan kebencianmu kepadanya (Muhammad)!”

Al Walid akhirnya berkata:

“Baiklah, akan kufikirkan lebih dahulu.”

Setelah berulang ulang berfikir, merenung ia pun mengalah pada paksaan Abu Jahal:

“Benar bahwa ucapannya sihir yang berkesan, yang memberi bekas kepada yang lainnya. . . “

Berkaitan dengan peristiwa ini Allah menurunkan ayat:



”Biarkan Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia. Dan Aku lapangkan baginya (rezeki dan kekuasaan) dengan selapang- lapangnya.
Kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. Sekali- kali tidak (akan Aku tambah), karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (Al-Qur’an). Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan.
Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan. Maka celaka dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan. Sesudah itu dia memasam muka dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri.
Lalu dia berkata: “(Al-Qur’an) ini tidak lain adalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (Al-Muddatsir 11 _25).

Al Walid adalah cermin kaum intelektual pada zamannya. Dalam suatu struktur masyarakat yang mapan, kaum intelektual punya tempat yang khas. Dia adalah tokoh sentral, tempat orang bertanya dan tempat penguasa berkonsultasi dalam menentukan kebijaksanaan. 

Tindak–tanduk cendekiawan tidak sekedar disorot masyarakat, namun kerap kali diikuti secara membabi buta. Lebih-lebih pada masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja. 

Sejarah menujukkan, suatu cara untuk mempengaruhi pola pikir dan tindak masyarakat adalah dengan memperalat posisi cendekiawan. Pernyataan-pernyataan cendekiawan diarahkan sedemikian rupa, sehingga masyarakat terbawa arus. Celakanya ideologi yang memaksa cendekiawan tidak selalu baik dan benar. 

Salah satu tugas cendekiawan, menurut Al-Ghazaly, ialah bertindak atau beramal menurut ilmu-ilmunya. Perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati, sedang amal dilihat dengan mata kepala. Dalam masyarakat, sudah pasti, yang memiliki mata kepala lebih banyak daripada yang memiliki mata hati. Apabila amal bertentangan dengan ilmu, tercegahlah keadilan. 

Sebenarnya, Al Walid telah memperlihatkan ciri cendekiawannya pada debat pertama dengan Abu Jahal. Dan Abu Jahal terdesak. Namun agaknya sisi isti’ab nazhary (kapasitas intelektual) Al Walid, tidak diiringi sisi lain yang menunjang. Isti’ab ma’nawy-nya (kapasitas moral) dan isti’ab haraky-nya (kapasitas pergerakan) tampak sangat lemah. 

Ancaman Abu Jahal mengendurkan semangatnya dalam memegang kebenaran yang telah dilihat dan dibuktikannya. Al Walid tidak tergoda dengan umpan harta, tetapi ia takut kehilangan pengikutnya. 

Ia tak dapat membayangkan bagaimana para pengikutnya mengancam habis-habisan lantaran ia hijrah kepada kelompok minoritas, kaum muslimin. Keberhasilan perjuangan masih diukurnya melalui kaca-mata kuantitas, banyak sedikitnya pengikut. 

Pertempuran antara jiwa hanifnya melawan tarikan-tarikan ideologi sesat tampak tergambar dari sikapnya. Berulang kali berfikir dan memutuskan. Dan akhirnya ia mengambil jalan yang dianggapnya “paling menyelamatkan” meskipun kebenaran diragukan. 

Itulah akhir dari kehidupan seorang yang hanya berorientasi kepada ilmu, tanpa dibekali keberanian menanggung resiko pengamalan ilmu yang diyakininya. Sudah pasti kehidupan cendekiawan model Al Walid penuh penderitaan. Al Hasan berkata:    

“Siksaan bagi ulama ialah mati hatinya. Kematian hati ialah mencari dunia dengan amalan akhirat!”.

Sedangkan Al Fudhail bin Iyadh (seorang ulama sufi dan mujahid) berkata:

“Saya menaruh belas kasihan kepada tiga orang. Yaitu, orang mulia dalam kaumnya yang menghinakan diri, orang kaya dalan kaumnya yang memiskinkan diri dan orang yang berilmu yang dipermainkan dunia . . .”

 

I. Faruqi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar