Rabu, 26 Juni 2019

Mulai dengan Ikhlash, Jalani dengan Ikhlash, dan Akhiri dengan Ikhlash


Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Waktu berjalan, beriring dengan tuntunan dan hidayah Allah subhaanahu wa ta’aala kepada kita semua. Beriring dengan limpahan kenikmatan yang tak terhitung untuk kita semua. 

Beriring dengan perlindungan Allah yang selalu dan diberikan kepada kita, hingga kita terhindar dari berbagai penyimpangan yang mengalihkan langkah kita dari ridha-NYA. 

Mari kita syukuri lebih jauh lagi, keberadaan kita di jalan dakwah ini. Sebuah jalan yang mustahil kita temukan dengan semata kualitas diri yang jauh dari kesempurnaan. Suatu jalan yang takkan mungkin kita ada di sana, kecuali karena Allah memberikan anugerah-NYA kepada kita untuk ada di sini, dan Allah memilih kita dari bermiliar ummat-NYA di muka bumi ini. 

Jalan ini adalah jalan dakwah, jalan yang dilalui oleh para Nabi, para Rasul, dan orang-orang shalih. Jalan yang menjadi sarana kita untuk bisa melakukan napak tilas kehidupan dan perjuangan, sebagaimana kehidupan dan perjuangan para Nabi, Rasul dan orang-orang shalih yang disebutkan dalam beragam kisah Al-Qur’an. 

Jalan yang menjadikan kita bisa merasakan korelasi antara kisah Al-Qur`an tersebut, dengan gerak langkah perjuangan yang kita lakukan. Tanpa anugerah Allah memilih kita untuk bersama-sama ada di jalan ini, kita sangat mungkin sulit menyelami kandungan dan makna kisah-kisah AlQur`an, sebab kita berada di arus yang berbeda dengan para utusan Allah dan para shalihin. 

Dan sebaliknya, karena kita hadir dan bergerak dalam perjuangan dakwah ini, kita menjadi lebih mudah menghayati, mentadabburi, merenungkan dan menyelami kandungan perjuangan para Nabi, Rasul dan orang-orang shalih, yang dituangkan di dalam Al-Qur`an. 

Alhamdulillah, tsummal hamdulillah.... Hari-hari ini, kita mengintensifkan kembali aktifitas dakwah kita yang sesungguhnya tak pernah berhenti . Sebab sebenarnya, tak ada peristiwa yang bisa menghentikan kita dari aktifitas dakwah. Mungkin ada peristiwa tertentu, yang memerlukan waktu serta perhatian ke sisi lain, tapi sesungguhnya peristiwa apapun tetap memiliki nuansa dakwah yang sudah menjadi wazhifah mashiriyah kita sebagai da’i. 

Karena kita adalah da’i, di atas semua profesi yang kita miliki. Mari memulai kembali aktivasi program, agenda dan aktifitas dakwah kita dengan samasama menekankan dan menanamkan niat keikhlasan dalam hati kita semua. Keikhlasan yang berarti kita tak melakukan amal-amal dakwah, kecuali karena kita ibadah yang dilatarbelakangi keimanan, kecintaan, kesyukuran kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. 

Keikhlasan artinya juga, kita selalu berusaha membersihkan niat dari berbagai keinginan, obsesi, harapan, yang bersifat keduniaan. Sebab keikhlasan itu selalu membawa keberkahan yang sesungguhnya melebihi dari harapan keduniaan siapapun. 

Kehangatan Ikhlash sedikit demi sedikit terancam menjadi dingin, ketika jiwa diterpa gelombang kepentingan pribadi, senang dipuji, mengharap jabatan, senang dan bangga tampil, obsesi untuk dilihat publik untuk tampil di hadapan banyak orang, dan semacamnya. 

Itu sebabnya, Allah sangat mencintai amal yang bersih, terlepas dari noda yang mengganggu keikhlasan. Rasulullah shallalalahu alaihi wa sallam bersabda,


Dari Umar bin Khattab radhiyallaahu anhu, bahwa suatu ketika dia keluar menuju masjid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berjumpa dengan Mu'adz bin Jabal yang sedang duduk di sisi Kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sambil menangis. 
Maka ia pun bertanya, "Apa yang membuatmu manangis?" [Mu'adz] menjawab, "Aku menangis karena sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya riya' yang paling ringan pun sudah terhitung syirik, dan sesungguhnya orang yang memusuhi wali Allah maka dia telah menantang bertarung dengan Allah. 
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang baik lagi bertakwa dan tidak dikenal, yaitu orang-orang yang apabila menghilang maka mereka tidak dicari-cari, dan jika mereka hadir maka mereka tidak di kenal, hati mereka ibarat lentera-lentera petunjuk yang muncul dari setiap bumi yang gelap." (HR. Ibnu Majah, No. 3979) 

Jika ini jalan perjuangan, maka perjuangan memiliki makna kesungguhan, keseriusan, pengorbanan. Tidak ada harapan yang bernuansa menerima di sini. Kecuali berharap menerima balasan dari-Nya semata. 

Modal terbesar kita di sini adalah, keikhlasan, yang memuat makna shidqun niyyah wal iradah (niat dan keinginan yang tulus). Perhatikanlah bagaimana perkataaan para salafushalih tentang ikhlash. 


Al Juneid mengatakan, ”Keikhlasan itu adalah rahasia antara Allah dan seorang hamba. Tidak diketahui oleh Malaikat sehingga tidak bisa ditulis, tidak diketahui oleh syaitan sehingga tidak bisa dirusak oleh syaitan. Juga tidak juga bisa dikenali hawa nafsu sehingga tidak bisa disimpangkan oleh nafsu." (Taajul ‘Aarifiin, hal. 113) 
Artinya, keikhlasan tidak bisa dibuat-buat, direkayasa, dikendalikan, atau dirasa-rasakan. Ia telah muncul begitu saja di dalam diri kita, lalu mengalir dalam darah dan menguasai jiwa. Dan karenanya, mengendalikan jiwa itu menjadi suatu pekerjaan yang tidak mudah. 

Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Al Ghazali mengutip ungkapan Sahl bin Abdullah At Tustari, 


Ketika ditanya, ”Apakah yang paling berat dilakukan oleh jiwa?” Ia mengatakan, ”Keikhlasan, karena jiwa tidak mempunyai bagian untuk mengendalikannya.” 
Dalam banyak uraian tentang keikhlasan. Para ulama banyak yang memberi definisi ikhlas. Kian mencari kandungan dan makna Ikhlas, akan semakin sulitlah kita menerapkannya. 

Sebut saja salah satu definisi keikhlasan yang disebut para ulama, “Keikhlasan itu adalah berusaha melindungi amal yang dilakukan dari pengetahuan makhluk, termasuk dari pengetahuan dirimu sendiri....” Atau, juga pendapat Fudhail bin Iyadh: “Meninggalkan amal karena manusia itu adalah riya, beramal karena manusia itu syirik. 

Ikhlas itu adalah bila engkau beramal dan engkau dilindungi Allah dari kedua kondisi tadi.” Ya’qub Al Makfuuf, “Orang yang ikhlash adalah yang menyembunyikan kebaikannya, sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.” Ibnu Taimiyah mengatakan, “Batas keikhlashan adalah seperti perkataan sebagian mereka, “Orang yang ikhlash adalah yang tidak peduli bila ia tidak dianggap di hati manusia demi kebaikan hatinya dengan Allah swt. 

Dan tidak suka bila orang lain mengetahui sedikit saja kebaikan dari apa yang dilakukannya.” Bahkan yang lebih mendalam lagi, dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,


“Barangsiapa yang bersaksi atas keikhlasan dirinya, maka keikhlasannya itu memerlukan keikhlasan. Indikator kekurangan orang yang ikhlash dalam keikhlasannya, sejauh mana ia merasakan dirinya ikhlash. Jika ia tidak lagi memandang dirinya ikhlash, berarti dialah seorang yang benar-benar ikhlash (mukhlishan mukhlishan).” (Madarij As Saalikin, 2/91) 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menceritakan Abu Hamid Al Ghazali pernah mendengarkan kata-kata hikmah yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang berbuat ikhas semata-mata karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui ucapannya. 

Abu Hamid Al Ghazali mengatakan. “Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, tapi ternyata tidak memancar apa-apa dariku, lalu aku sampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya engkau ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan bukan karena Allah semata....” 

Terbayanglah betapa keikhlasan itu tidak mudah dimiliki. Betapa rumitnya keikhlasan itu. Muhammad bin Wasi’ mengatakan, “Dahulu orang shalih ada yang menangis di sisi sahabatnya, tapi sahabatnya tidak tahu dia menangis. 

Bahkan ada sorang suami yang menangis di waktu malam, sedangkan antara kepalanya dan kepala istrinya ada di atas satu bantal dan telah basah karena air mata. Tapi istrinya tidak tahu bila suaminya menangis.” 

Jika kita ada di jalan perjuangan dakwah, maka keikhlasan itu memiliki definisinya sendiri seperti disampaikan Imam Hasan Al Banna rahimahullah. Ikhlash adalah bila seorang pejuang Muslim yang mengorientasikan perkataannya, amalnya, jihadnya semua untuk Allah swt dan mengharap ridha-Nya dan kebaikan pahalanya. 

Tanpa melihat pada perolehan harta, manfaat, penampilan, kedudukan, julukan, kemajuan atau kemunduran. Agar ia menjadi seorang yang ikhlas, menjadi bala tentara fikrah (ideologi) dan akidah (keyakinan), bukan bala tentara keinginan atau manfaat.” 

Mungkinkah kita memiliki keikhlasan? Tanpa bantuan Allah swt, kita tak bisa memilikinya. Itu sebabnya, salah satu do’a yang banyak dilantunkan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam adalah,



”Wahai Yang Membolak Balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu. (HR. Muslim) 

Mari terus berjalan dan berjuang. Sambil terus mengasah ketajaman bashirah kita untuk membersihkan keikhlasan dalam berjuang. Ingat, gangguan keikhlasan, bisa ada pada kondisi menyenangkan, dan kondisi yang tidak menyenangkan. 

Di jalan ini, mungkin kita mendapat banyak kenikmatan dunia yang memberikan kesenangan. Tapi itu tidak boleh menggeser dan menyimpangkan niat dan mengotori tujuan, hanya untuk Allah swt, untuk ridha-Nya, untuk dakwah-Nya. 

Ketka kita melangkah, berlari, diam, dan berbahagia di jalan ini, semuanya adalah untuk dan karena Allah swt. Lalu, jika ada aral dan batu di jalan ini, mengganggu langkah. Jika ada cuaca dan suasana jalan ini terasa merongrong hati untuk berhenti. 

Bila ada peristiwa yang bisa melelehkan air mata dalam hati, kedukaan, atau luka, di jalan ini, tetaplah berjalan jangan berhenti. Berusaha untuk tetap membersihkan niat, keinginan, kehendak, di jalan ini hanya karena dan untuk Allah subhaanahu wa ta’aala. Kita akan terus berjalan di sini. Agar hanya Allah yang tahu... semua kepahitan dan luka itu, bagian dari persembahan, pengabdian, pengorbanan... untuk-Nya.. di jalan-Nya. 

Dengan itulah, kesulitan dan kepahitan menjadi nikmat dan kebahagiaan. Sebab kita di sini, adalah karena-Nya dan untuk-Nya.. bukan karena dan untuk siapa-siapa. Semoga menjadikan kita ikhlas dalam berjuang. Mendapat kekuatan untuk menghalau berbagai gangguan keikhlasan dalam kehidupan dan dalam perjuangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar