Jumat, 01 Agustus 2025

Shihatul Intima’, Loyalitas Yang Benar

(Ust Amang Syafruddin) 

Dalam berorganisasi/amal jama’i, afiliasi, keanggotaan, keterikatan dan keikutsertaan seorang a’dho jama’ah dalam aktivitas dakwah harus di atas landasan intima yang benar, jelas dan pasti. Bukan intima yang semu, mengambang dan bercabang. Sebagaimana Allah SWT berfirman

Allah tidak menjadikan pada seorang laki-laki dua hati di dalam dadanya.(al ahzab : 4)

Hal ini berbeda dengan intima’nya orang-orang munafik, sebagimana yang digambarkan dalam al qur`an,


Artinya: Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. 
(an nisa; 143)

Dan tidak juga seperti intima’nya orang-orang yang mencari keuntungan pribadi. Surah Al-Hajj ayat 11 berbunyi:



Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (wa minan-naasi man ya'budullaaha 'alal harf); maka jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu (wa in ashaabahu khairunith-ma-anna bihi), dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (wa in ashaabathu fitnatun-inqalaba 'alaa wajhihi). 

Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

Intima yang benar adalah manakala intima’ itu mencakup dimensi :

1. Intima’ Fikri ‘Aqidi, 

Yakni intima yang berdasarkan fikrah dan aqidah, bukan intima syakhshiy (terikat karena figur, tokoh, pimpinan, murobbi dan pribadi seseorang). Juga bukan intima mashlahiy (bergabung karena keuntungan materi, kepentingan pribadi atau kelompok). Keterikatan, keterlibatan dan keikutsertaan kita haruslah karena fikrah dan aqidah islamiyah.

Intima’ ‘aqidi wa fikri - tentunya bukan hanya pada dimensi niat & motif ‘amal dari seorang al akh untuk terlibat dalam da’wah & harakah ini, tetapi intima’ ‘aqidi wa fikri itu akan terlihat dari sekuat apa komitmen ‘amal seorang du’at terhadap aqidah & fikrahnya itu dalam seluruh perannya di masyarakat.

Karena bisa jadi komitmen terhadap aqidah & fikrahnya terlihat lurus, kokoh ketika berada pada lingkaran komunitasnya/internal, - tetapi kemudian lemah, pasif & menyerah ketika berada pada lingkaran komunitas yang lebih heterogen, atas nama : sungkan, tidak enak, tidak etis, dsb.

Tekanan ‘psikologis’ dari komunitas (mayoriti) itulah tantangan terhadap intima’ kita pada aqidah & fikrah da’wah ini. Dan sesungguhnya “fikrah’ itulah yang justru menjadi identitas kita, sehingga bisa dibedakan dengan yang lain…yaitu ketika fikrah da’wah ini lahir dalam wujud ‘amal nyata /sikap. 

Ketika rasulullah saw wafat, maka masyarakat muslimpun mulai memudar intima’ nya pada aqidah & fikrah agama ini dengan banyaknya orang-orang yang murtad, tidak patuh dan taat kepada sistem dan membangkang terhadap aqidah Islam, maka muncullah Abu Bakar Ash Shidiq ra. meluruskan komunitas itu dengan tegas, tanpa sungkan ataupun takut.

“Barangsiapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah mati dan barangsiapa yang menyembah Allah, Allah hidup tidak akan mati “. “Demi Allah, seandainya mereka tidak mau memberikan kepadaku onta yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah, pasti aku akan perangi mereka.

” Intima’ du’at terhadap aqidah & fikrah da’wah-nya lah yang menjadi mercusuar & penjaga bagi intima’ umat terhadap dien / agama ini, sehingga Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan : “Wahai ikhwah, jadilah jundi fikrah dan aqidah, jangan menjadi jundi ghorod (ambisi pribadi) dan manfaah (keuntungan materi)”

2. Intima’ manhaji tanzhimi. 

Ikhwah fillah, intima yang benar adalah intima yang sistematik dan terorganisir serta terstruktur, bukan intima ‘afawi (sembarangan). Yang dimaksud intima manhaji tanzhimi adalah bahwa seluruh aktivitas kader harus sejalan mengikuti kebijakan dan aturan jama’ah.

Kader dalam kondisi selalu siap mendengar dan taat kepada jama’ah dan qiyadah - tanpa ada keraguan, kegamangan, keberatan dan kemalasan sedikit pun. Dan siap untuk memberikan yang terbaik untuk dakwah dan jama’ah di manapun posisinya, sekalipun tidak banyak orang yang mengenalnya.

Umar bin Khattab Ra. berkata, “Tidak ada Islam tanpa Jama’ah, tidak ada Jam’ah tanpa Qiyadah dan tidak ada Qiyadah tanpa Keta’atan.”

Bisa jadi ada ikhwah yang bersih aqidahnya, baik akhlaqnya, & kuat keislamannya tetapi tidak memiliki intima’ tanzhimi maka kerjanya menjadi ‘amal/kerja yang individual, tidak efektif dan bahkan seringkali akan patah menyerah ditengah jalan, baik dalam pengertian pensiun dari da’wah atau berubah orientasi da’wahnya.

Sesungguhnya intima’ minhaji tanzhimi inilah yang menjadikan kita tetap dalam satu shaf (setelah wihdatul aqidah wal fikral – wihdatul manhaj wal harakah), yang terhadapnya kita beriltizam & berbai’ah.

Kisah Thalut di surat Al Baqarah ayat 249 adalah pelajaran penting dalam konteks ini. Surat Al-Baqarah ayat 249 menjelaskan tentang ujian yang diberikan Allah kepada Thalut dan tentaranya ketika mereka hendak menyeberangi sungai.

Ayat ini menceritakan bahwa Allah menguji mereka dengan memerintahkan untuk tidak meminum air sungai kecuali hanya seciduk dengan tangan.

Mereka yang mematuhi perintah ini akan tetap menjadi pengikut Thalut, sementara yang melanggarnya akan dipisahkan. Ayat ini juga menyoroti perbedaan sikap antara mereka yang taat dan yang tidak taat, serta pentingnya kesabaran dalam menghadapi ujian dari Allah.

3. Intima mashiri. 

Ikhwan fillah, intima yang benar adalah intima yang bersifat final, tidak ada pilihan kecuali jama’ah ini. Kita menjadikannya sebagai pilihan akhir. Insya Allah keselamatan diri kita, masa depan umat dan kejayaan Islam ditentukan oleh jama’ah ini.

Oleh karenanya intima kita kepada jama’ah ini berlaku untuk selama-lamanya sampai mati, tidak terhalang karena kesehatan yang kurang mendukung, pernikahan, pekerjaan, perniagaan dan perusahaan.

Bagi kader dakwah hendaknya selalu berupaya memberikan kontribusi untuk dakwah. Itulah yang menjadi pijakan bagi para sahabat Rasul.

Mereka sedih, menangis, cemas dan khawatir atas diri mereka di saat mereka tidak dapat berpartisipasi, ikut serta dan memberikan kontribusi langsung walaupun mereka memiliki sejumlah alasan (udzur syar’i). ْ


Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan, Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (At taubah : 41).


dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan (at taubah : 92).

Ikhwah dan akhwat fillah… Jadikanlah gerak dan langkah kita seiring dan sejalan mengikuti pergerakan roda dakwah. Ya Allah, yang memutar balikkan hati manusia, teguhkanlah hati kami di atas jalan agamaMu, teguhkanlah jiwa kami di atas jalan dakwah kepadaMu. Amin…amin…amin….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar